kau mungkin tak percaya saat aku tak lagi waras, kemudian menulis
surat ini untukmu. Ada rasa getar di ujung jari saat tulisan mengalir
mengeluarkan aksara kemudian bersuara.
Kalimat yang mengawali salam pertamaku untukmu.
Awan tak akan lagi indah saat mendung berkerudung, suara burung parau saat halilintar menyelipkan cintanya yang berlebihan.
Aku
masih ingat tubuhmu yang waktu itu kau rebahkan di punggungku kemudian
kau mengawali perbincangan, "ahh, hidup ini seperti menikmati secangkir
kopi". Selalu, aku ingat kalimat itu entah kenapa. Mungkin tanpa sadar
kau bernyanyi dengan kalimat itu, tapi bagiku nyanyianmu adalah syair
merdu yang membuat aku mabuk kepayang.
Secangkir kopi yang
harus kau nikmati dengan hati yang mengirama degub nadi, karena kau
harus melihatnya dengan hati, kemudian baru bisa kau rasai dan maknai.
Dan kini, Tuhan membuatkan secangkir kopi. Semoga tak akan tumpah kala
ada di tanganku nanti. Semoga aku tak akan muntah saat mencicipi kopi
buatanNYA itu. "ahh, nikmatt" aku akan berusaha bilang begitu, walau
bohong merajai hatiku. Ya, kebohongan tak akan berwajah tunggal di
hadapanNYA kelak. Benar begitu kan sahabatku?
Palembang, 18 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar